Selasa, 08 Maret 2011

Pegawai BII Ditahan Terkait Pemalsuan Data Kreditur Rp 3,6 M

Senin, 07/03/2011 16:26 WIB | E Mei Amelia R - detikNews


Jakarta - Petugas Fiskal, Moneter dan Devisa (Fismondev) Direktorat Reskrimsus Polda Metro Jaya menangkap Account Officer Bank Internasional Indonesia (BII) cabang Ekajaya, Mangga Dua Raya, Jakarta Barat. Pelaku berinisial DCB ditangkap atas dugaan keterlibatan pemalsuan data kreditur.

"Sehingga pihak bank dirugikan sebesar Rp 3,6 miliar atas pemalsuan tersebut," kata Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Yan Fitri Halimansyah kepada wartawan, Senin (7/3/2011).


Yan Fitri mengatakan, DCB yang bertugas sebagai verifikator data kreditur tidak melakukan verifikasi yang sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) BII. Atas kesalahannya itu, kredit yang diajukan oleh H dapat diloloskan oleh pihak bank.

"Seharusnya dia melakukan verifikasi identitas kreditur, alamatnya di mana, harta yang dijaminkannya juga dicek. Selaku AO, DCB tidak melakukan hal itu," jelasnya.

Sementara itu, Kepala Satuan Fismondev AKBP Arismunandar menjelaskan, pihaknya telah menangkap DCB di rumah orangtuanya di Tegal, Jawa Tengah pada 6 Februari lalu. Sementara itu, polisi masih mengejar kreditur berinisial H.

"H masih kita kejar," katanya.

Aris mengungkapkan, kasus tersebut bermula ketika H yang bekerja sebagai wiraswasta mengajukan kredit ke BII pada September 2010 lalu senilai Rp 2,6 miliar. "H meminjam uang untuk membeli ruko di Tebet," katanya.

Dalam pengajuan kreditnya itu, H melampirkan data-data sebagai syarat kelengkapan. Namun, tanpa dilakukan verifikasi ulang, H rupanya memberikan data-data yang fiktif kepada DCB.

"KTP-nya atas nama H, tapi alamatnya fiktif dan rekening BCA milik H ini juga palsu," katanya.

Selaku verifikator, DCB harusnya meminta KTP dan buku tabungan rekening kredit yang asli. "Tapi cuma melampirkan foto copy-an saja dan itu diloloskan oleh DCB," katanya.

Kesalahan lainnya, DCB menaikan jumlah uang yang diajukan oleh kreditur hingga Rp 4 miliar. "Tapi yang kemudian disetujui hanya Rp 3,6 miliar," katanya.

Sebelum menyetujui permohonan peminjaman uang Rp 2,6 miliar, DCB dan manajernya melakukan pengecekan ke alamat tempat usaha H di sebuah ruko yang juga terletak di Tebet, Jakarta Selatan. H sengaja menyewa ruko tersebut untuk mengelabui pihak bank jika dirinya memiliki usaha pengelasan.

"Waktu dicek sama atasan DCB, memang dia ada di ruko itu dan ada 3 karyawannya juga," katanya.

Setelah selesai melakukan verifikasi, DCB kemudian melampirkan data verifikasi ke atasannya. Hingga akhirnya, pihak bank menggelontorkan uang sebesar Rp 3,6 miliar pada Oktober 2010.

Setelah uang itu cair, pihak bank lalu membayarkan ke rekening penjual ruko sebesar Rp 3,6 miliar. H kemudian meminta kelebihan uang itu kepada penjualnya.

"Sisanya Rp 900 juta diberikan ke H dengan bentuk cheque," katanya. Dari sisa uang itu, DCB kebagian uang sebesar Rp 140 juta melalui transfer ke rekeningnya.

Kasus pemalsuan data itu terbongkar ketika H mulai macet. Dari tenor pembayaran cicilan yang dilakukan perbulan selama 4 tahun, H baru membayar satu kali.

"Mulai Desember 2010, H macet. Karena nggak bayar-bayar lagi, lalu bank mengecek kembali data kreditur itu sehingga ketahuan bahwa datanya tidak lengkap dan palsu," katanya.

Bank kemudian melaporkan kasus tersebut ke kepolisian. DCB dijerat dengan Pasal 49 UU No 10 tahun 1998 tentang perbankan dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun penjara.

(mei/ndr)
Source : http://www.detiknews.com/